APA, DI MANA DAN BAGAIMANA WARUGA DIBUAT?

Tempat pembuatan waruga di kompleks Perkebunan Pinati, Kelurahan Kamasi 1, Kecamatan Tomohon Tengah.

Waruga adalah kuburan batu yang unik dari masyarakat Minahasa di Indonesia, menggambarkan kekayaan warisan budaya daerah ini. Terbuat dari batuan vulkanik, waruga tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan tetapi juga menceritakan kisah orang-orang yang hidup selaras dengan alam. Sejarah dan arti penting waruga hingga saat ini menunjukkan simbol status dan koneksi spiritual masyarakat dengan leluhur mereka.

Temukan lebih lanjut penjelasan mengenai warisan budaya yang menakjubkan ini dan signifikansinya dalam perjalanan Anda di Minahasa.

APA ITU WARUGA?

Setiap budaya punya cara tersendiri untuk mengenang orang yang telah meninggal, tetapi masyarakat Minahasa di Indonesia punya pendekatan unik dengan waruga. Makam batu yang memesona ini sudah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi bukti kekayaan warisan budaya. Diukir dari batu vulkanik yang kokoh, waruga tidak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan, tetapi juga menceritakan kisah orang-orang yang pernah hidup selaras dengan alam.

Asal usul waruga diselimuti misteri, seperti desain samar yang terukir di permukaannya. Secara historis, makam batu ini diperuntukkan bagi kaum elit, yang melambangkan status dan rasa hormat. Saat ini, sisa-sisa makam batu yang memesona ini dapat ditemukan di seluruh tanah Minahasa, mengundang para sejarawan dan pelancong yang ingin tahu untuk mempelajari lebih lanjut tentang kisah mereka.

Minahasa masa kini terus merawat masa lalunya, memamerkan waruga sebagai lambang kebanggaan budaya. Tur lokal dan inisiatif pendidikan sering kali menyoroti makam kuno ini, yang mengaitkannya dengan makna spiritual dan historis. Saat orang-orang menjelajahi situs-situs ini, mereka teringat akan warisan abadi leluhur mereka, yang membangun bangunan-bangunan luar biasa ini, yang memadukan seni dan spiritualitas.

DI MANA WARUGA DIBUAT?

Lalu, di mana waruga itu di buat? Dan bagaimana masyarakat kala itu membawa waruga ke lokasi-lokasi yang terlihat saat ini? Ingin tahu lokasinya?
Menurut Sejarawan Sulut, Adrianus Kojongian, lokasinya berbeda-beda. Di Tomohon tempat pembuatan waruga berlokasi di Pinati, suatu perkebunan yang berada di Kelurahan Kamasi 1 Kecamatan Tomohon Tengah. Sedangkan di wilayah Kakaskasen, tempat pembuatan waruga disebut Kimoog, daerah di sebelah selatan Kelurahan Wailan, Kecamatan Tomohon Utara.

Sedangkan, di bekas Balak Tombariri, tempat pembuatan waruga disebut Tatahaan untuk penduduk Katinggolan (kampung tua Woloan), kini Kecamatan Tomohon Barat. Sementara si bekas wilayah Sarongsong, tempat pembuatan waruga disebutu, Apela. Sarongsong, kini masuk Kecamatan Tomohon Selatan.

“Lokasi-lokasi ‘pabrik’ waruga tidak berjauhan dengan bekas ibukota lama wilayah-wilayah itu,” tutur Adrianus, beberapa waktu lalu.

“Sulit di bayangkan bagaimana batu-batu besar waruga yang beratnya berton-ton, dapat dibawa naik melewati jurang terjal yang cukup dalam,” ucap pria yang berdomisili di Lingkungan 5, Kelurahan Kamasi, Kecamatan Tomohon Tengah.
Di lokasi pembuatan waruga, Pinati misalnya, Adrianus mengungkapkan, masih dapat ditemui waruga yang belum selesai dibuat. Pinati dengan tanah domato – warga setempat menyebut Apela – yang memiliki area cukup luas dan berada di bawah tebing, setidaknya masih ada sekitar 20 (dua puluh) waruga utuh.

“Waruga yang tidak selesai atau batal digunakan, kemungkinan besar, karena sulit membawanya dari kedalaman. Sangat menguras waktu, tenaga serta biaya besar. Waruga itu ukurannya cukup besar. Diperkirakan akan digunakan untuk ‘orang besar’ Tomohon tempo dulu,” ungkap Ads, sapaan akrab, Adrianus.
Kemungkinan lain, karena saat itu penguburan waruga mulai ditinggalkan. Penduduk Tomohon dianjurkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menggunakan peti mati sebagai pengganti waruga, seperti yang kita lihat di zaman sekarang ini.

Kepala Wilayah Tomohon terakhir yang menggunakan waruga, menurut Ads, adalah Mayor Ngantung Palar yang meninggal tahun 1853. Sementara Lukas Wenas ketika meninggal menggunakan peti biasa. Demikian pula Kepala Balak Wilayah Sarongsong Mayoor Herman Carl Waworuntu dan anaknya Mayoor Zacharias Waworuntu tidak menggunakan waruga.

Kebanyakan para tokoh yang merasa ajalnya hampir tiba, Ads menceritakan, mereka akan mempersiapkan wadah kuburnya sendiri dengan tidak lupa memberi ukiran-ukiran. Para tokoh ataupun keluarga yang paham bahasa melayu akan menaruh nama dan jabatannya.

Meski jarang tersisa saat ini, karena sudah langka, baik rusak oleh waktu, gempa dan tertimbun di dalam tanah bekas negeri-negeri lama Tomohon. Banyak waruga bernama serta lukisan adalah hasil pemugaraan, yang terjadi di masa pemerintahan Gubernur Sulut, HV Worang.

Di Tomohon saat ini, hanya ada dua waruga tua yang mencatat nama si yang meninggal pada penutup waruganya, yakni di bekas Kota Tua Tombariri, Katinggolan, sekarang wilayah Kelurahan Woloan I Utara Kecamatan Tomohon Barat. Dan Waruga Pacat Supit Sahiri Macex, bekas Hoofd Hoecums Majoor Kepala dan Kepala Balak Tombariri yang waruganya dipindahkan tahun 1845, kini berada di depan gedung GMIM ‘Eben Haezar’ Woloan II.

“Tulisan di waruga ini cukup unik, yakni: Coubur:Der:HocomMajo:r:Soupit:Ter:D:B:M:S:1738. Tulisan di waruga Supit ini merupakan prasasti paling tua yang pernah ada di Tanah Minahasa saat ini,” jelasnya.

Masyarakat tempo dulu ketika membuat waruga, hanya menggunakan alat seadanya, yakni kapak yang dalam bahasa Tombulu disebut Pati atau Tamako. Hebatnya Pati itu dibuat dari batu. Tak kalah menakjubkan lagi, Ads melanjutkan, setelah selesai membuat waruga, penutup dan badan waruga dipikul menaiki jurang terjal dan dibawa ke lokasi si meninggal akan dimakamkan.

“Ketika membawa waruga tersebut rata-rata mereka tidak menggunakan alat bantu. Hanya menggunakan otot dan kekekaran tubuh semata,” kisahnya.

Lebih membuat terkesima, adalah medan yang akan dilalui para pengangkut waruga, mendaki dan terjal. Di lokasi ‘pabrik’ waruga Pinati, Ads mengungkapkan, masih terlihat bekas-bekas tangga yang pernah digunakan warga Tomohon tempo dulu untuk turun membuat dan membawa naik waruga.
Nama Pinati, masih ada sangkut paut dengan alat yang digunakan membuat waruga, Pati, dalam Bahasa Tombulu, waruga saat dibuat “pi na pati maan” (cuma menggunakan kapak). Versi lain Pinati (Pati), bermakna air sedingin mata kapak.

“Sebab mataair di tempat itu sangat dingin,” katanya tersenyum.

Kisah lain, Pinati berhubungan erat dengan kisah berdirinya nama Kakaskasen. Tonaas yang bernama Makiohloz (Kiohlor atau Ohlor) ketika menebang pohon di Kakaskasen yang masih lebat, bingung mencari mata kapak yang lepas, ia menggaruk-garuk lalu muncullah mataair yang kemudian bernama Kinaskas, karena di garuk.

“Didongengkan jatuhnya kapak sang Tonaas itu ke tempat yang kemudian dinamai Pinati yang lokasinya berada Kamasi, sebelah selatan Kakaskasen,” kisah Ads yang juga merupakan wartawan senior di Sulut.

Populer

Terkini

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top