Anggota Komisi X (sepuluh) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Sofyan Tan menyarankan pemerintah untuk fokus memberikan kesejahteraan bagi guru dibanding sibuk memikirkan ganti kurikulum. Sebab, menurut Sofyan, pergantian kurikulum, akan berdampak terhadap berbagai infrastruktur layanan pendidikan, terutama dari sisi infrastruktur Sumber Daya Manusia (SDM). Khususnya bagi guru-guru di seluruh Indonesia yang berjumlah 3.328.000 orang.
“Pergantian kurikulum akan akan mempengaruhi lebih dari 3 (tiga) juta guru. Kasihan, mereka harus harus kembali belajar dan adaptasi terhadap kurikulum baru. Padahal yang kemarin aja mereka juga sudah kesulitan,” kata Sofyan dikutip dari laman resmi DPR RI, sebagaimana dilansir kompas.com, Sabtu, 09 November 2014.
Pentingnya peningkatan kesejahteraan guru, Sofyan menyoroti, sampai sekarang masih menjadi problematika pada sistem pendidikan di Tanah Air.
“Kalau ganti lagi kurikulum, guru akan bekerja lebih berat lagi, belajar lagi, sementara nasibnya tidak pernah berubah. Saya harap kebijakan yang dilakukan hari ini itu adalah justru perubahan terhadap nasib guru,” ucapnya.
Isu kesejahteraan guru, menurut Sofyan, merupakan pekerjaan rumah utama yang harus diperhatikan pemerintah saat ini. Dirinya mengingatkan bahwa kualitas pendidikan harus ditingkatkan salah satunya dengan memperhatikan kesejahteraan guru.
“Pendidikan yang berkualitas harus dimulai dari guru, maka guru harus mendapat kesejahteraan yang jauh lebih baik. Jangan lagi ada guru yang cuma mendapat hak penghasilan Rp 230.000 (dua ratus tiga puluh ribu) per bulan, kita sudah ada instrumen Undang-Uundang Sistem Pendidikan Nasional yang menjamin itu,” jelasnya.
Masih banyaknya guru honorer yang memiliki pekerjaan sampingan, Sofyan mengungkapkan, karena penghasilannya sebagai tenaga pendidik tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga. Berdasarkan data Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Mei 2024 menyebut ada 42 persen guru dan 74 persen guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta rupiah. Serta 13 persen guru dan 20,5 persen guru honorer memiliki penghasilan di bawah Rp 500.000. Dari laporan yang sama juga diketahui, 89 persen guru di Indonesia merasa penghasilan mereka pas-pasan atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Selain itu, 55,8 persen guru diketahui memiliki pekerjaan sampingan, dan 79,8 persen guru diketahui memiliki utang.
“Tak heran banyak masyarakat dari profesi guru banyak yang terjerat pinjaman online seperti laporan NoLimit yang mengatakan 42 (empat puluh dua) persen masyarakat yang terjerat pinjol ilegal berprofesi sebagai guru,” bebernya.
Melihat dari berbagai data dan peristiwa yang menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan guru, Sofyan berharap pemerintah bisa membuat program terobosan.
“Guru tidak boleh lagi penghasilannya di bawah UMR (Upah Minimum Regional), termasuk guru honorer. Mereka pahlawan pendidikan kita. Instrumen yang bisa dilakukan adalah dengan sertifikasi, dan inpassing (penyetaraan profesi guru negeri maupun swasta) yang hari ini sudah tidak ada,” paparnya.
“Kalau itu kita gunakan, tidak ada guru kita yang penghasilannya di bawah UMR atau bekerja sebagai pemulung atau pekerjaan yang semestinya tidak dilakukan oleh seorang guru,” sambungnya.
DEEP LEARNING BUKAN KURIKULUM, ITU PENDEKATAN BELAJAR
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti menegaskan, pembelajaran mendalam atau Deep Learning adalah sebuah istilah yang berkaitan dengan pendekatan belajar. Ancangan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas siswa.
“Deep Learning itu bukan Kurikulum. Itu pendekatan belajar,” kata Abdul Mu’ti saat ditemui usai acara bertajuk “Pak Menteri Ngariung” yang digelar untuk menampung aspirasi para sastrawan di halaman kantor Badan Bahasa, Jakarta, Jumat, 08 November 2024, malam, sebagaimana dilansir republika.co.id.
Sebelumnya, perbincangan di media sosial (medsos) sempat ramai tentang “Kurikulum Baru” yang disebut sebagai Deep Learning. Beberapa menyangka, Deep Learning akan menggantikan Kurikulum Merdeka, yang merupakan legasi dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), periode sebelumnya, Nadiem Anwar Makarim.
Kementerian yang dipimpinnya, Abdul mengatakan, hingga kini masih mengkaji kurikulum pendidikan yang akan diterapkan di Indonesia. Pihaknya belum memutuskan untuk mengganti Kurikulum Merdeka.
“Belum ada keputusan soal itu. Yang saya sampaikan itu soal pendekatan belajarnya,” jelasnya.
Dalam diskusi bersama sastrawan pada hari itu, Guru Besar Ilmu Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini juga menerima pelbagai aspirasi tentang pembelajaran sastra Indonesia. Salah satunya menyarankan, sebaiknya sastra masuk ke dalam kurikulum pendidikan dasar, utamanya sejak usia dini.
Terkait hal tersebut, Abul merespon bahwa pihaknya akan terus mengkaji materi-materi pembelajaran, termasuk urutan dan pembobotan agar tidak terlalu membebani siswa maupun guru.
“Nanti memang kita akan kaji semua, materi-materi pelajaran akan kita lihat lagi, termasuk menyangkut urutan, pembobotan dan sebagainya. Tetapi, memang tidak dalam waktu dekat, karena ini berada di pertengahan semester,” katanya.
Sebelumnya, Abdul juga telah menyebutkan akan mengkaji ulang penerapan kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar dan Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Begitu pula dengan Jalur Zonasi hingga soal peniadaan Ujian Nasional (UN).
“Jadi soal Ujian Nasional, soal PPDB zonasi, Kurikulum Merdeka Belajar, yang sekarang masih menjadi perdebatan, nanti kita lihat semuanya secara sangat saksama. Kami akan sangat berhati-hati,” tutur Abdul di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Senin, 04 November 2024.
Pihaknya, Abdul menegaskan, akan mendengarkan terlebih dahulu masukan dan aspirasi dari kalangan pemerintah daerah dan masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Kementerian juga akan menerima aspirasi dari pengguna jasa layanan pendidikan.