MEDIA & KONTRAK PEMERINTAH: ANCAMAN BAGI INDEPENDENSI?

ilustrasi kebebasan pers di era digital


INDEPENDENSI MEDIA DIGITAL: KONTRAK PEMERINTAH VS TANGGUNG JAWAB JURNALISTIK

Di era digital, media online berkembang pesat, menawarkan informasi instan kepada publik. Namun, fenomena yang terjadi dalam lanskap media digital saat ini menunjukkan pergeseran fungsi dari yang seharusnya menjadi pilar demokrasi menuju alat legitimasi kekuasaan. Beberapa media digital lebih memilih mempublikasikan berita seremonial kepala daerah dan pejabat pemerintahan, yang sering kali hanya menampilkan sisi positif tanpa sentuhan kritis.

Fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab. Sejumlah media telah menjalin kontrak dengan pemerintah, di mana – dari informasi dan telah menjadi pergunjiangan – mereka menerima pembayaran untuk setiap berita yang dipublikasikan sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Akibatnya, muncul ‘ketakutan’ untuk membuat berita kritis karena dikhawatirkan akan berdampak pada pemutusan kontrak. Lebih jauh lagi, media-media lain yang belum memiliki ikatan kontrak pun ikut mengekor dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan serupa di masa depan.

Bahkan, dalam praktiknya, disinyalir ada oknum wartawan yang sudah lama meliput di suatu wilayah dan memiliki peran besar dalam menentukan kontrak media dengan pemerintah. Beberapa laporan menunjukkan bahwa mereka bernegosiasi langsung atau bahkan membangun media digital sendiri dengan harapan memperoleh kontrak yang lebih menguntungkan. Nilai kontrak ini pun bervariasi, bergantung pada kedekatan sang wartawan dengan pejabat daerah. Jika sang wartawan sudah lama meliput dan memiliki hubungan baik dengan pejabat, nilai kontraknya bisa mencapai Rp 5 juta per bulan, atau lebih. Sementara bagi media baru dengan wartawan yang belum dikenal, kontrak berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per bulan.

Konsekuensi dari tren ini adalah menjamurnya media digital berbasis platform sederhana seperti WordPress, serta bertambahnya jumlah wartawan yang diduga tanpa keahlian yang memadai. Beberapa media disinyalir hanya merekrut tanpa memberikan pelatihan yang layak, dan lebih buruk lagi, mereka tidak lagi menyunting berita sebelum dipublikasikan. Bahasa yang digunakan dalam berita pun sering kali jauh dari standar bahasa jurnalistik yang baik dan benar. Media pun beralasan bahwa ini adalah kebebasan pers, dengan berlindung di balik Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Namun, apakah mereka benar-benar memahami makna dari regulasi tersebut?

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism, prinsip utama jurnalisme adalah “kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran.” Sayangnya, dalam praktik di lapangan, sebagian media lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada menyampaikan kebenaran yang seimbang. Sebagaimana dikatakan Jacob Oetama, “Jurnalisme yang baik bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga harus memberikan makna kepada publik.” Aristides Katopo menambahkan bahwa “pers bukan sekadar pencatat kejadian, tetapi harus mampu menjadi inspirasi bagi perubahan sosial.”

Pada akhirnya, beberapa media dan wartawan yang demikian justru bertransformasi menjadi ‘buzzer’ atau ‘influencer’ pemerintah. Masyarakat pun semakin bingung dalam membedakan media yang benar-benar independen dengan yang sekadar menjadi corong pemerintah. Kebebasan pers seolah hanya menjadi alat untuk meraup keuntungan finansial, melupakan fungsi utamanya sebagai kontrol sosial, sarana pendidikan, dan penyampai hiburan yang berkualitas.

Pers memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi, yakni sebagai penyampai informasi yang akurat, pengawas kekuasaan, penyedia ruang diskusi publik, serta sebagai sarana edukasi dan hiburan. Untuk menjaga profesionalisme dan kualitas berita, perusahaan media harus membekali wartawannya dengan pelatihan yang memadai sebelum diterjunkan ke lapangan. Wartawan harus memahami prinsip dasar jurnalistik, termasuk kode etik, teknik peliputan, verifikasi informasi, serta pemahaman terhadap hukum pers dan hak masyarakat atas informasi yang benar.

Menurut AJ Liebling, seorang kritikus media terkemuka, “Kebebasan pers hanya dimiliki oleh mereka yang memilikinya.” Artinya, kebebasan pers hanya bisa dijalankan oleh media yang benar-benar independen, bukan yang terikat oleh kepentingan ekonomi dan politik tertentu.

Lebih dari itu, perusahaan media, terutama para pemimpinnya, harus memahami konsep ‘garis api’ antara perusahaan dan redaksi. Redaksi harus menjadi ruang independen yang tidak dapat terkontaminasi oleh kekuasaan dan materi, seperti amplop (baca: uang), proyek atau kepentingan politik tertentu. Sementara itu, urusan pendapatan dalam bentuk kontrak, iklan, atau advertorial adalah tanggung jawab perusahaan, yang harus dikelola secara transparan tanpa mengganggu independensi redaksi dalam menyajikan berita yang jujur dan berimbang.

Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) seharusnya menjadi instrumen pengendali untuk memastikan profesionalisme media dan wartawan. Namun, realitasnya, sertifikasi ini justru sering dimanfaatkan sebagai alat untuk mendapatkan kontrak pemerintah, bukan sebagai dorongan untuk meningkatkan kualitas jurnalistik. Bahkan, perusahaan media yang sudah memiliki sertifikasi dari Dewan Pers pun belum tentu menghasilkan produk jurnalistik yang benar-benar berpihak kepada publik.

Seperti yang dikatakan Walter Lippmann, seorang jurnalis legendaris, “Pers yang bebas bukan hanya untuk memberi tahu kita apa yang terjadi, tetapi juga untuk membantu kita berpikir tentang apa yang terjadi.” Maka, sudah saatnya media digital kembali pada khitahnya sebagai penyampai kebenaran, bukan sekadar alat legitimasi bagi mereka yang berkuasa. Independensi dan profesionalisme harus dijunjung tinggi agar pers tetap menjadi pilar keempat demokrasi yang dapat dipercaya oleh publik. ***

Scroll to Top